Konservasi Elang Flores (Nisaetus floris)

Keanekaragaman Hayati Indonesia

Indonesia adalah negara beriklim tropis yang terletak di antara benua Asia dan Australia, serta di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Daratan Indonesia seluas 1.919.440 Km2 dan perairan seluas 3.257.483 Km2 dengan garis pantai sepanjang 99.093 Km (BIG, 2013 dalam Bappenas, 2016). Dari potensi sekitar 17 ribu pulau, saat ini baru 13.466 pulau yang sudah dikenali, diberi nama, dan didaftarkan ke The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

Secara geologi, Indonesia dilalui oleh dua jalur pegunungan muda dunia, yaitu Pegunungan Mediterania di sebelah barat dan Pegunungan Sirkum Pasifik di sebelah timur. Dua jalur pegunungan tersebut menyebabkan Indonesia memiliki banyak gunung api aktif, sehingga sering disebut sebagai The Pacific Ring of Fire. Hal ini juga menyebabkan Indonesia menjadi kawasan rawan gempa bumi (Bappenas, 2016).

Dalam kerangka biogeografi, tingginya keanekaragaman hayati Indonesia dijelaskan dengan teori pertemuan lempeng benua. Kepulauan Nusantara terbagi beberapa sub region menggunakan Garis Wallace, Garis Weber, dan Garis Lydekker. Ketiga garis maya yang menggambarkan pemisahan biogeografi tersebut, yang keseluruhan berada di antara benua Asia dan Australia. Hal tersebut menyebabkan keanekaragaman flora dan fauna Indonesia dikelompokkan menjadi dua tipe utama yang memiliki kemiripan dengan kedua daratan utamanya. Karenanya, Indonesia memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi dengan tingkat endemisitas yang tinggi pula. Indonesia menjadi negara mega biodiversity terbesar ketiga setelah Brazil dan Colombia (Butler, 2016), dengan 13 tipe ekosistem daratan dan enam tipe ekosistem perairan (ekosistem perairan darat dan ekosistem perairan laut). Sembilan belas tipe ekosistem tersebut kemudian terbagi menjadi 74 tipe vegetasi (Kartawinata, 2013; Bappenas, 2016).

Mengacu pada Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015-2020 (Bappenas, 2016), Indonesia tercatat memiliki 1.605 jenis burung, 723 jenis reptil, 385 jenis amphibi, 720 jenis mamalia, 1.248 jenis ikan air tawar, 197.964 jenis invertebrata, 5.137 jenis arthropoda (termasuk jenis-jenis arachnida), serta 181.847 jenis serangga termasuk 30.000 diantaranya dari ordo hymenoptera (tawon, lebah dan semut). Dalam dunia flora, Indonesia tercatat memiliki 91.251 jenis tumbuhan berspora, 120 jenis gymnospermae, serta sekitar 30.000-40.000 jenis tumbuhan berbunga (angiospermae), yang dari perkiraan tersebut, hingga saat ini baru terindentifikasi 19.112 jenis (Widjaja dkk, 2014). Banyak diantara keanekaragaman jenis fauna Indonesia yang sudah sangat dikenal secara global. Flagship species tersebut antara lain harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), badak jawa (Rhinoceros sondaicus), orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), orangutan sumatera (Pongo abelii), orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), anoa (Bubalus quarlesi dan B. depressicornis), komodo (Varanus komodoensis), serta jenis-jenis burung cenderawasih (keseluruhan jenis dari famili Paradisaeidae).

Umumnya, wilayah-wilayah yang masih alami dan semi alami, yang belum banyak diokupasi oleh manusia telah ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh pemerintah Indonesia. Seluas 120,63 juta hektar (sebesar 63,04% dari luas daratannya) merupakan kawasan hutan yang dikuasai oleh negara. Luas tersebut ditambah dengan 5,32 juta hektar kawasan konservasi perairan, sehingga total kawasan hutan dan konservasi perairan Indonesia seluas 125,96 juta hektar (Kementerian LHK, 2018). Kawasan hutan dan konservasi perairan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dimandatkan pengelolaannya kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kawasan hutan dan konservasi perairan di Indonesia, berdasarkan fungsi pokoknya terdiri atas kawasan hutan konservasi (atau disebut juga kawasan konservasi), kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan produksi. Adapun kawasan konservasi sendiri, berdasarkan fungsinya secara lebih detail terdiri atas kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya, serta taman buru.

Untuk melakukan upaya konservasi keanekaragaman hayati secara lebih komprehensif, sejak tahun-tahun awal abad ke-20 hingga saat ini, Indonesia telah menetapkan 554 unit kawasan konservasi seluas 27,14 juta hektar, yang terdiri dari 22 juta hektar kawasan konservasi terestrial dan 5 juta hektar kawasan konservasi laut. Kawasan konservasi tersebut tersebar dari Sabang hingga Merauke dan merupakan perwakilan ekosistem terumbu karang di perairan laut hingga hutan alpin di ketinggian lebih dari 3.000 m.dpl. Kawasan konservasi dimaksud meliputi 214 unit cagar alam seluas 4,25 juta hektar, 79 unit suaka margasatwa seluas 4,98 juta hektar, 54 unit taman nasional seluas 16,52 juta hektar, 131 unit taman wisata alam seluas 830 ribu hektar, 34 unit taman hutan raya seluas 371,12 ribu hektar, 11 unit taman buru seluas 171,25 ribu hektar, serta 29 unit kawasan suaka alam-kawasan pelestarian alam seluas 306.06 ribu hektar (KSA-KPA atau kawasan konservasi yang belum ditetapkan fungsinya secara definitif). Luas dan jumlah unit kawasan konservasi merupakan angka yang dinamis atau dengan kata lain dapat mengalami perubahan sewaktu-waktu. Hal tersebut dikarenakan adanya proses-proses perubahan peruntukan kawasan hutan, perubahan fungsi kawasan, juga proses penataan batas-batas kawasan atau proses pengukuhan kawasan yang masih terus berlangsung.

Sebagian besar kawasan konservasi, atau sebesar 59,79% dari total 27 juta hektar merupakan kawasan yang difungsikan sebagai taman nasional. Beberapa di antara kawasan konservasi Indonesia telah mendapatkan pengakuan secara global, yaitu empat kawasan sebagai situs warisan dunia (World Heritage Site), 17 kawasan konservasi sebagai cagar biosfer (Biosphere Reserve), enam kawasan konservasi sebagai situs ramsar (Ramsar Site), enam kawasan konservasi sebagai ASEAN Heritage Site, serta empat kawasan konservasi sebagai UNESCO Global Geopark. Penetapan status atau pengakuan global tersebut merupakan bukti pentingnya kawasan hutan dan keanekaragaman hayati Indonesia bagi kepentingan internasional.

Kawasan konservasi Indonesia berada dan dikelilingi oleh 6.381 wilayah administratif kelurahan/desa definitif. Pada umumnya, penduduk di desa-desa tersebut memiliki ketergantungan terhadap sumber daya alam di kawasan konservasi untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pada kawasan konservasi di seluruh Indonesia, setidaknya terdapat 1,8 juta hektar lahan terbuka (opened area) yang mengindikasikan gangguan, kerusakan atau degradasi ekosistem. Hal tersebut wajar terjadi karena populasi penduduk Indonesia yang semakin besar. Kerusakan yang terjadi di dalam kawasan konservasi antara lain disebabkan oleh tumpang tindih penguasaan lahan kawasan konservasi dengan lahan yang dimanfaatkan dan diusahakan oleh masyarakat, penebangan liar, perburuan liar, serta kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh faktor-faktor alam.

Selain permasalahan tumpang tindih penguasaan lahan kawasan konservasi, keberadaan masyarakat hukum adat di dalam kawasan konservasi juga perlu dirumuskan mekanisme pengelolaannya. Bangsa Indonesia terdiri atas masyarakat yang sangat majemuk. Secara etnolinguistik, bangsa Indonesia terdiri atas 1.128 suku bangsa yang terbagi dalam ribuan komunitas dan tersebar pada 74.094 desa definitif di seluruh Nusantara (Kemendagri, 2017 dalam Wiratno, 2018). Dari jumlah tersebut, 9.410 desa di antaranya berada di sekitar kawasan hutan (Nugroho dkk, 2017 dalam Wiratno, 2018). Sejumlah lembaga dan entitas mengusulkan wilayah hutan adat seluas lebih kurang 1,65 juta hektar untuk lebih dari 134 komunitas adat di dalam kawasan konservasi. 1,3 juta hektar atau 81% dari luas usulan tersebut berada di kawasan taman nasional. Berdasarkan hasil kajian spasial, 67% tutupan dari usulan wilayah adat dimaksud, masih berupa hutan primer. Beberapa contohnya ada di kawasan TN Betung Kerihun seluas 193.716 hektar, kawasan TN Sebangau seluas 138.321 hektar, kawasan TN Kayan Mentarang seluas 750.733 hektar, serta kawasan TN Lore Lindu seluas 108.690 hektar (Wiratno, 2018).

Kawasan konservasi, sebagaimana umumnya kawasan hutan di seluruh Indonesia, menghadapi tekanan yang semakin berat dan kompleks, yang potensial menjadi penyebab degradasi dan fragmentasi habitat. Hal tersebut menjadi penyebab fenomena “Habitat Island”. Degradasi dan fragmentasi habitat tersebut merupakan dampak dari kebakaran hutan, konversi hutan untuk pertanian dan perkebunan, penebangan liar, penambangan tanpa ijin (PETI), dan lain-lain. Perubahan tersebut tentu saja berdampak langsung pada kualitas dan fungsi kawasan konservasi.

Patut disayangkan bahwa masih banyak habitat dari keanekaragaman jenis satwa liar dan tumbuhan alam yang belum terlindungi dan dikelola secara memadai sebagai kawasan konservasi. Berdasarkan hasil analisis gap keterwakilan ekologis dan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia (Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010) disimpulkan bahwa masih terdapat banyak ekosistem penting (baik terestrial maupun laut) yang belum terwakili di dalam sistem kawasan konservasi Indonesia. Hal tersebut perlu ditindaklanjuti secara serius dan konsisten oleh pemerintah Indonesia bersama para pihak terkait. Bukti nyata dari gap keterwakilan ekologis tersebut adalah banyaknya habitat orangutan yang ternyata berada di luar kawasan konservasi, baik di wilayah Kalimantan maupun Sumatera. Bahkan spesies terbaru di Indonesia, orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang hanya hidup di wilayah Batang Toru, Sumatera Utara, habitatnya belum terlindungi oleh kawasan konservasi. Spesies lain yang juga demikian antara lain adalah gajah sumatera, harimau sumatera, jenis-jenis dari family Tarsiidae, dan banyak lagi yang lainnya. Khusus untuk elang flores (Nisaetus floris) yang endemik di wilayah Nusa Tenggara, juga demikian adanya. Wilayah jelajah spesies ini cukup luas namun rentan karena tersebar di kepulauan yang berukuran kecil. Perlindungan habitatnya perlu mendapat perhatian untuk tetap menjaga keberlangsungan keberadaannya.

Strategic Plan for Biodiversity 2011-2020, atau lebih dikenal dengan sebutan Aichi Biodiversity Targets (UNEP, 2010) menekankan perlunya peningkatan status keanekaragaman hayati dengan menjaga ekosistem, spesies, dan keanekaragaman genetik. Aichi Targets Number 11 mengamanatkan kepada seluruh negara yang meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati bahwa pada tahun 2020, setidaknya 17% daratan dan kawasan perairan darat, serta 10% kawasan pesisir dan laut, utamanya kawasan yang penting bagi keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan, dilestarikan secara efektif dan dikelola secara selaras. Keterwakilan ekologis dan sistem kawasan perlindungan terkoneksi secara memadai dengan kawasan konservasi, yang terintegrasi secara luas kedalam bentang lahan dan bentang laut. Untuk pemenuhan target tersebut, Indonesia masih perlu menetapkan penambahan kawasan konservasi atau kawasan ekosistem esensial seluas kurang lebih 10 juta hektar. Selain itu, Aichi Targets juga mengamanatkan bahwa pada tahun 2020, kepunahan spesies yang terancam telah dicegah dan status konservasinya telah meningkat dan dapat dilestarikan keberadaannya, terutama spesies yang populasinya sangat menurun.

Bekerja bersama mengelola kawasan dengan para stakeholder kunci di sekitar kawasan konservasi, seperti masyarakat desa, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta akademisi dari universitas lokal adalah suatu pendekatan baru yang perlu dilakukan. Menempatkan masyarakat sebagai mitra kunci sangat penting dalam mengidentifikasi permasalahan dan potensi kawasan konservasi, lalu diteruskan dengan membangun dan mengembangkan agenda bersama serta mengimplementasikannya secara kolaboratif. Terdapat tiga prinsip dalam pelaksanaan pengelolaan kolaboratif, yaitu mutual respect, mutual trust dan mutual benefit, yang sebaiknya selalu mendapat perhatian secara memadai. Pendekatan tersebut akan membantu para pengelola kawasan konservasi dalam membangun dan mengembangkan hubungan mereka dengan masyarakat setempat. Permasalahan-permasalahan dalam pengelolaan kawasan konservasi dapat diupayakan penyelesaiannya melalui dialog, membangun kesadaran, dan menginisiasi win- win solution yang memungkinkan, melalui penciptaan berbagai aktivitas alternatif. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan non kayu, restorasi kawasan yang terdegradasi, pengembangan wisata alam, pembangunan mini-hydro electrical power plant, serta usaha-usaha skala kecil lainnya yang berbasis pemberdayaan masyarakat setempat adalah beberapa contoh solusi penyelesaian permasalahan kawasan konservasi. Hal-hal tersebut membutuhkan karakter kepemimpinan yang kuat di berbagai level, yang dapat menjamin bahwa pengelola kawasan konservasi dapat lebih berpikiran terbuka dan lebih inklusif terhadap inovasi- inovasi baru. 

Nusa Tenggara

Kepulauan Nusa Tenggara juga dikenal dengan sebutan Kepulauan Sunda Kecil (The Lesser Sunda). Pada tahun 1950-an Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Moh. Yamin menamai Kepulauan Sunda Kecil menjadi Kepulauan Nusa Tenggara yang artinya "Nusa" (pulau-pulau, kepulauan) yang berada di tenggara Indonesia. Saat ini, nama Nusa Tenggara digunakan oleh dua wilayah administratif, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Gugusan kepulauan Nusa Tenggara didominasi oleh kondisi yang secara umum merupakan wilayah yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas tectonik dan vulkanik sehingga rentan gempa, tanah longsor serta kerusakan oleh angin. Pulau- pulau di Nusa Tenggara pada umumnya memiliki wilayah resapan air yang sempit namun tingkat erosi tanahnya tinggi. Sebagian wilayah pulau-pulaunya merupakan wilayah pesisir dan masyarakatnya mengembangkan kehidupan yang lebih terisolasi dan teguh mempertahankan kebudayaannya (Monk dkk, 2000).

Bagian Timur Indonesia terletak di persimpangan 4 lempeng utama, yaitu Indo- Australia, Pasifik, Erasia dan Lempeng Laut Filipina. Interaksi keempat pinggiran lempeng tersebutlah yang menghasilkan kondisi geologi dan biologi yang rumit di Nusa Tenggara (Monk dkk, 2000). Wilayah Nusa Tenggara seluas 68.426,89 Km2, juga merupakan bagian dari kawasan Wallacea yang terisolasi oleh lautan, yang karenanya menjadi arena evolusi jenis burung endemik (Coates et al., 2000).

Kondisi fisik Nusa Tenggara berbeda dengan kawasan lainnya di Indonesia. Kepulauan ini terdiri dari pulau-pulau vulkanik dan rangkaian terumbu karang yang tersebar di sepanjang lautan (Monk dkk, 2000). Kondisi alam Nusa Tenggara kurang banyak diketahui sampai kedatangan Alfred Russel Wallace ke Kepulauan Nusantara pada tahun 1854 hingga 1862. Wallace menamai kepulauan di sisi tenggara Nusantara ini dengan sebutan Timor Group, walaupun Pulau Lombok dikelompokkan bersama Bali karena kedekatan budaya masyarakatnya (Wallace, 1869). Evolusi masing-masing pulau di Nusa Tenggara sangat rumit dan masih menjadi perdebatan. Usia dari masing-masing pulau jauh berbeda (Monk dkk, 2000) dan dapat dilihat dengan jelas secara fisik apabila kita menapaki gugusan pulau-pulau dari barat ke timur.

Seperti yang disampaikan oleh Harold Brookfield (1990) pada tulisannya yang berjudul An Approach to Islands dalam Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands, bahwa “kelemahan hampir secara langsung berkaitan dengan ukuran yang kecil”. Pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara ini lingkungannya lebih terspesialisasi, dengan proporsi spesies endemik yang lebih tinggi dibandingkan dengan keseluruhan komunitasnya yang kurang beragam (Monk dkk, 2000). Jika terjadi kepunahan salah satu spesies, sulit untuk mencari guild bagi spesies tersebut, sehingga pada akhirnya dapat merusak tatanan di dalam rantai makanan dan ekosistem. Hal demikian dapat memicu terjadinya biological catastrophe berupa meningkatnya serangan hama, booming- nya populasi spesies tertentu secara tidak terkendali, serta mungkin akan muncul dan berkembangnya alien species. Kurang lebih, hal- hal tersebut sejalan dengan konservasi elang flores yang terus diupayakan saat ini.

Upaya Konservasi Elang Flores

Elang flores merupakan salah satu spesies endemik Nusa Tenggara. Sebarannya sangat terbatas di wilayah yang meliputi Pulau Lombok, Sumbawa, Flores, serta Satonda, Rinca, Komodo, dan Alor. Populasi spesies ini diperkirakan kurang dari 100 pasang atau sekitar 100-240 individu. Jika populasi dari Alor ditambahkan maka diperkirakan populasi totalnya hanya sebanyak 150-360 individu. Trend populasinya pun belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan menurun karena habitat yang menjadi preferensinya yang juga semakin berkurang (Gjershaug et al., 2004; Collaerts et al., 2013; Verbelen, 2014; Birdlife International, 2018; The IUCN Red List of Threatened Species, 2018).

Jenis ini ditemukan menempati dataran rendah dan hutan sub montana sampai di ketinggian 1.600 m.dpl. Observasi terhadap jenis ini banyak dilakukan di hutan dataran rendah, walaupun terkadang terlihat di kawasan budidaya yang berbatasan dengan kawasan berhutan. Musim berbiak diperkirakan pada musim kering. Wilayah jelajahnya berukuran 40 Km2 untuk setiap pasangan (Gjershaug et al., 2004). Kerusakan dan degradasi habitat merupakan ancaman utama bagi kelestarian elang flores. Kawasan konservasi yang berukuran kecil di wilayah Nusa Tenggara belum memadai untuk memastikan keberlangsungan hidup spesies ini.

Karena sebarannya yang terbatas (endemik Nusa Tenggara), tingkat populasi yang rendah, serta tingkat ancaman yang tinggi, elang flores kemudian ditetapkan sebagai salah satu spesies yang dilindungi undang-undang. Berdasarkan IUCN Red List of Threatened Species, spesies ini digolongkan sebagai jenis yang Kritis (Critically Endangered) dan merupakan 10 spesies burung pemangsa (raptor) yang sangat terancam kepunahan di dunia. Walau demikian, CITES masih memasukkan jenis ini ke dalam Appendix II (dapat diperdagangkan dengan kuota pemanfaatan). Mungkin daftar CITES ini perlu segera diajukan untuk direvisi dan menempatkan Elang Flores ke dalam Appendix I.

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019, Rencana Strategis Kementerian LHK Tahun 2015-2019, serta Rencana Strategis Direktorat Jenderal KSDAE Tahun 2015-2019, Elang Flores merupakan salah satu dari 25 Spesies Prioritas yang harus ditingkatkan populasinya di alam. Dari hasil survei yang dilaksanakan oleh UPT Direktorat Jenderal KSDAE di wilayah Nusa Tenggara, jenis ini dapat ditemukan di beberapa kawasan konservasi seperti di wilayah kerja Balai KSDA NTB dan Balai Besar KSDA NTT, TN Gunung Rinjani, TN Tambora, TN Kelimutu, serta TN Komodo.

Dalam rentang waktu 2015-2019, ke-25 spesies tersebut ditargetkan untuk ditingkatkan populasinya di alam minimal sebesar 10% dari baseline data populasi tahun 2013. Kementerian LHK telah menindaklanjuti upaya pencapaian target tersebut dengan menyusun road-map pencapaian targetnya (Keputusan Direktur Jenderal KSDAE Nomor: 180/IV-KKH/2015 tentang Penetapan 25 Spesies Satwa Terancam Punah Prioritas untuk ditingkatkan Populasinya sebesar 10 Persen pada Tahun 2015- 2019). Tumbuhan alam dan satwa liar akan ditingkatkan populasinya melalui program breeding dan propagasi.

Upaya untuk meningkatkan populasi dari satwa liar terancam punah prioritas ini termasuk diantaranya pelaksanaan inventarisasi dan monitoring populasi, pengelolaan habitat satwa liar, pelaksanaan kampanye penyadartahuan, implementasi peningkatan upaya perlindungan dan pengamanan habitat dan jenis dimaksud, penetapan mekanisme resolusi konflik satwa- manusia, serta memfasilitasi pertolongan bagi satwa, rehabilitasi dan pelepasliaran satwa liar yang dipelihara secara ilegal. Selain upaya peningkatan populasi di alam, upaya peningkatan populasi juga dilakukan terhadap satwa liar yang berada pada fasilitas konservasi eksitu (lembaga konservasi).

Akan tetapi, target meningkatkan populasi tersebut tentu tidak mudah untuk dicapai tanpa adanya dukungan dari para pihak. Berdasarkan hasil kajian distribusi spasialnya, sebaran elang flores ternyata juga banyak yang berada di luar kawasan konservasi. Sebagai contoh adalah keberadaan elang flores di hutan adat Otoseso di Desa Wolojita, yang menjadi areal tempat bersarangnya. Kita semua tentu sangat berharap agar seluruh warga Nusa Tenggara ikut menjaga keberadaan Elang Flores. Potensi keanekaragaman hayati yang ada di wilayah harus mampu menjadi pilar untuk kepentingan sosial dan ekonomi. Tentu saja dengan cara-cara yang bijak, terutama dalam kaitannya dengan pemanfaatan jasa-jasa ekosistem dalam praktek pengembangan wisata alam.

Perlindungan Habitat

Perlindungan habitat menjadi bagian penting dalam upaya konservasi keanekaragaman jenis satwa liar dan tumbuhan alam. Avifauna kawasan Wallacea sangat kaya dan pada umumnya merupakan jenis yang sebarannya terbatas. Namun, kondisi ini memprihatinkan karena avifauna di kawasan Wallacea paling sedikit dikenal dan beberapa diantaranya paling terancam punah di dunia (Collar et al., 1994 dalam Coates et al., 2000). Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa perlindungan habitat di kawasan Nusa Tenggara masih minim karena terbatasnya areal kawasan konservasi. Jalan tengah untuk upaya konservasi elang flores tentu saja harus melibatkan masyarakat setempat sebagai socio- buffer.

Masyarakat harus aktif untuk melindungi sumber daya alamnya. Pengalaman telah memberikan pembelajaran menarik di Besitang, TN Gunung Leuser. Besitang di awal 2005 adalah wilayah yang disebut di dalam literatur sebagai open acces, yaitu wilayah dengan label “no body property but everybody access”. Wilayah tak bertuan, bukan milik siapapun tetapi setiap orang bisa menguasainya. Hukum tidak ada di sana, negara tidak hadir, dan taman nasional hanya cerita angin lalu (Wiratno, 2012). Saat ini, masyarakat di Besitang telah turut andil dalam upaya konservasi di wilayahnya. Pengalaman mengelola Tangkahan di Sumatera Utara juga penting untuk pembelajaran bersama. Kasus di Tangkahan mengajarkan kepada kita bagaimana para illegal logger dapat bertransformasi menjadi konservasionis. Tangkahan kini menjadi surga tersembunyi di Langkat, yang dijaga dengan baik oleh masyarakatnya. Hutan-hutannya telah kembali lebat dan mungkin kini jadi angker karena jarang diakses oleh manusia.

Analisis gap keterwakilan ekologis dan pengelolaan kawasan konservasi di Nusa Tenggara ini masih perlu dilakukan secara lebih detail. Data dan informasi yang kini tersedia sebaiknya dihimpun secara komprehensif sebagai dasar untuk mengkaji kebutuhan konservasi di Nusa Tenggara. Aichi Targets tentu saja akan terus diminta untuk dipenuhi dalam waktu hanya tersisa dua tahun ke depan. Protected Planet Report 2018, Tracking Progress towards Global Targets for Protected Areas (UNEP, 2018) telah memberikan evaluasi terhadap capaian global untuk Aichi Targets Number 11. Kita harus berupaya memenuhi target-target tersebut melalui berbagai cara. Perlindungan habitat elang flores, tentu saja tidak harus melulu melalui penetapan kawasan konservasi. Solusi alternatifnya adalah dengan menetapkan kawasan ekosistem esensial, yang dikelola untuk berbagai kepentingan namun tetap berbasiskan pada norma-norma konservasi.

Pengembangan Wisata Alam berbasis Spesies dan Masyarakat

Dalam upaya konservasi, collective awareness menuju collective action perlu diupayakan agar mendapat dukungan secara memadai. Sumber daya hutan telah terbukti memberikan kehidupan dan sumber penghidupan bagi suatu bangsa. Bagaimana mengelola hutan agar sebesar-besarnya memberikan manfaat bagi masyarakat, adalah suatu pertanyaan sangat penting untuk kita bisa menjawabnya. Manfaat jangka pendek, seperti kayu dari hutan, terbukti tidak bisa bertahan lama, dan hanya memberikan manfaat ekonomi pada kelompok tertentu. Manfaat yang berjangka panjang yang sangat beragam, seperti hasil hutan bukan kayu, sumber tanaman obat-obatan, jasa lingkungan air, iklim mikro, mikroba, jamur, penjaga keseimbangan air permukaan-air tanah, debit sungai, penjaga kesuburan lahan, pencegahan banjir, tanah longsor, habitat satwa liar dan sebagainya merupakan lebih dari 95% nilai manfaat sumber daya hutan.

“Forestry is not about trees, it is about people. And it is about trees only in so far as trees can serve the needs of the people” (Jack Westoby, 1967). Pernyataan Jack Westoby tersebut valid dan sesuai dengan fakta-fakta di Indonesia, bahkan sampai dengan saat ini. Pengelolaan hutan bersama masyarakat yang tinggal dan tergantung hidup dan kehidupannya dengan sumber daya hutan merupakan alternatif nyata dan telah banyak terbukti dan dibuktikan, membawa kelestarian manfaat sekaligus meningkatkan harkat martabat masyarakat desa pinggir hutan, termasuk masyarakat (hukum) adat. Pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat di Tangkahan, Desa Namo Sialang dan Sei Serdang, Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara; Pengelolaah Hutan Kemasyarakatan Kulonprogo yang lebih terkenal sebagai Desa Wisata Kalibiru; pengelolaan Repong Damar di Lampung; Pengelolaan Hutan Adat Ammatoa Kajang, di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, dan di banyak tempat lainnya adalah bukti yang tidak terbantahkan.

Tangkahan adalah nama suatu tempat ekowisata yang dikelola oleh masyarakat di pinggir TN Gunung Leuser. Secara administratif, Tangkahan masuk di wilayah dua desa, yaitu Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang, Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Dua desa yang kehidupan ekonomi sangat minim, karena terjepit antara perkebunan sawit (PT Perkebunan Nusantara II) dan TN Gunung Leuser, memaksa masyarakatnya menggantungkan kehidupannya dari dalam hutan TN Gunung Leuser. Di masa tahun 1980 - 2000, kayu menjadi sasaran utama untuk ditebang dan dialirkan melalui Sungai Batang Serangan untuk dijual. Berpuluh tahun, areal TN Gunung Leuser yang berbatasan dengan kedua desa tersebut hancur karena illegal logging tersebut. Perubahan-perubahan yang besar dari yang semula masyarakat pelaku penebang kayu di dalam TN Gunung Leuser, menjadi pelaku utama ekowisata, dengan beragam atraksi antara lain yang paling disukai adalah mandi di Sungai Buluh, memandikan dan trekking dengan gajah jinak masuk ke dalam hutan menikmati keindahannya.

Sejak dibentuknya Tangkahan Simalem Ranger pada 22 April 2001 yang bertugas menjaga hutan Tangkahan dan berdirinya Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) pada 22 April 2002, maka mulailah era baru pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat. LPT hidup sampai dengan saat ini, yang berarti sudah 17 tahun. Hutan TN Gunung Leuser di sekitar Tangkahan aman, berbagai kelompok masyarakat yang mengembangkan paket-paket wisata terus menuai hasil ekonomi, mulai dari parkir, warung makan, warung souvernir, paket tubbing, memandikan dan berjalan dengan gajah di hutan, dan mandi di Sungai Buluh. Pada tahun 2017 Tangkahan dikunjungi oleh 1.782 wisatawan mancanegara dan 354 wisatawan nusantara. Pada tahun 2015 - 2017, Tangkahan menghasilkan PNBP sebanyak Rp 95.085.000,00 (tahun 2015), Rp 446.235.000,00 (tahun 2016), dan Rp 269.202.500,00 (tahun 2017). Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera telah terbukti di Tangkahan (Wiratno, 2018).

Pembelajaran dari Tangkahan tersebut perlu direplikasi di kawasan Nusa Tenggara. Untuk kepentingan perlindungan elang flores serta seluruh keanekaragaman hayati di Nusa Tenggara, keterlibatan masyarakat adalah salah satu kunci utamanya. Apabila masyarakat merasakan dan memperoleh manfaat dari upaya konservasi, maka tidak akan sulit untuk menggerakkan collective awareness menuju collective action bagi kepentingan konservasi. Hal inilah yang dinamakan social capital yang sesungguhnya. Salah satu jalannya adalah melalui pengembangan wisata alam berbasis masyarakat.

Perlu diketahui bahwa dalam pengembangan wisata alam, terdapat beberapa prinsip yang perlu dikedepankan. Upaya pengembangan pariwisata alam wajib memperhatikasn peningkatan kualitas sumber daya alam dan tetap menjamin terjaganya kelestarian pemanfaatan sumberdaya alam. Pengembangan wisata alam juga mengedepankan kepentingan edukasi publik. Adanya unsur pendidikan dan pengetahuan tentang konservasi alam akan menumbuhkan komitmen dan kepedulian terhadap pelestarian lingkungan. Pariwisata alam tentu saja berkaitan dengan kepentingan ekonomi. Kontribusi nyata bagi pendapatan masyarakat setempat, daerah, dan nasional akan menjadi penggerak ekonomi serta penyeimbang pembangunan daerah dan nasional. Dalam pengembangan pariwisata, pemberdayaan masyarakat sebaiknya mendapat prioritas. Hal tersebut akan berdampak pada terbangunnya dukungan masyarakat dalam pengembangan wisata alam, keberpihakan pada partisipasi masyarakat, peningkatan kesejahteraan dan kapasitas masyarakat setempat, serta mendorong masyarakat setempat untuk nantinya akan menjadi pelaku utama. Yang terakhir dan tidak kalah pentingnya adalah pariwisata alam merupakan bagian dari aktivitas rekreasi sehingga harus dapat menawarkan keamanan (safety), kenyamanan (amenity), kepuasan (satisfaction) kepada pengunjung melalui standar pelayanan kegiatan wisata alam yang profesional.


  Unduh File

Diposting oleh: Admin Web, 23 Feb 2023

Media Sosial


Statistik Pengunjung

  • Pengunjung Hari Ini: 53
  • Pengunjung Kemarin: 72
  • Total Pengunjung: 77932