Mewariskan “Keindahan Alam”
Presiden Joko Widodo dalam Kenduri Kebangsaan di Bireun, Aceh, mengingatkan bahwa pembangunan sebuah peradaban tidak ditentukan banyaknya materi yang dimiliki. Yang jauh lebih penting ialah kualitas dan sikap orang-orang yang ada. Pikiran-pikiran yang besar dan terbuka itulah yang akan membawa sebuah bangsa mencapai kemajuan. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group dalam kolom Podium, berjudul aceh Baru (Media Indonesia, 25 Februari 2020).
Pernyataan tersebut di atas sangat relevan apabila kita kaitkan dengan judul di atas : “mewariskan keindahan alam”. Yang dimaksud di sini adalah estetika atau keindahan yang dipancarkan oleh kondisi alam yang masih hutuh-hutan, laut, pantai, sabuk bakau, ngarai, dan sebagainya . Bumi ciptaan Tuhan. Apabila saat ini kita dapat menikmati keindahan yang menakjubkan, ketika kita mengamati terbitnya matahari di lokasi selfiebernama Penanjakan, TN Bromo Tengger Semeru. Di sana, kita dapatkan rona alam yang luar biasa, dengan Gunung Batok, Gunung Tengger, dan Gunung Semeru dalam satuan garis lurus. Atau menikmati lansekap hutan alam yang “dilapisi” dengan gelombang pucuk hijau pepohonan hutan hujan tropis dengan tebing jurang dan lembah sungai mengular sepanjang dataran tinggi Kappi, apabila kita terbang dari Medan ke Takengon, di pagi hari yang cerah. Tempat ini merupakan habitat gajah, badak, harimau terpenting selain Lawe Mamas, dan di Lawe Bengkung di mana salt lake nya mampu mengundang hampir semua mamalia besar menikmatinya. Bagaimana kelembaban berlumut hutan Ketambe, research station orangutan yang tahun depan akan berulang tahun ke 50. Semuanya di di TN Gunung Leuser. Indonesia masih memiliki 53 taman nasional lainnya yang juga tidak kalah unik dan menakjubkan.
Mewariskan Keindahan
Akankah kita mampu mewariskan “keindahan” seperti itu 100 tahun mendatang? Tanggungjawab dan keadilan lintas generasi yang sungguh berat. Pertanyaan hipotetik dan filosofis yang mestinya kita mampu menyiapkannya dari sekarang. Seperti Greta Turnberg anak muda 16 tahun yang telah memikirkan tentang dampak perubahan iklim global dan berjuang dengan cara-cara yang sangat mencengangkan. Juga caranya mengkritik kehidupan mewah-mahal yang dilakukan oleh warga negaranya di Swedia. Pernyataannya yang terkenal dan menyindir banyak pemimpin dunia adalah sebagai berikut : “ the political system that you have created is all about competition. You cheat when you can, because all that matters is to win, to get power. That must come to an end, we muust stop competing with each other, we nee to cooperate and work together and to share resources of the planet in fair way (“No One is Too Small to Make a Difference-Pinguin Book, 2019). Jelas, suatu sindiran yang tajam dan tepat sasaran terhadap semua politikus yang sebenarnya hanya mementingkan diri dan kelompoknya untuk mendapatkan pengaruhnya melalui power yang di tangannya.
Merenungkan hal-hal abstrak tetapi sebenarnya nyata tersebut, mengusik kita pada pertanyaan mendasar : “mau dibawa kemana peradaban manusia?” Modernitas yang seperti apa yang akan kita raih? Mencontoh negara-negara Utara? Atau kita memiliki cara sendiri? Menemukan cara sendiri untuk menentukan arah pembangunan manusia dan cara melestarikan alam yang sangat indah sebagaimana sebagian kecil, telah diungkapkan di atas. Bahagiakah manusia modern saat ini? Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, di Bulukumba, Sulawesi Selatan, memilih hidup dalam rangkulan dan rengkuhan erat dari hutan adatnya seluas 300 hektare, dengan cara mereka sendiri. Demikian dengan masyarakat Badui Dalam. Selaras dengan irama nafas yang dialunkan oleh alam semesta. Menyatu dengan alam adalah puncak dari kebahagiaan mereka. Waktu seolah berhenti berdetak di Ammatoa Kajang dan Baduy Dalam. Mungkin juga di banyak komunitas adat yang hidup di dalam hutan warisan nenek moyangnya. Pilihan mereka harus kita hormati dan hargai, sebagaimana pilihan-pilihan hidup dari manusia modern di Abad digital saat ini, yang penuh dengan materialisme dan keriuhan komunikasi tanpa batas.
Natural Capital
Istilah yang sedang ramai diperbincangkan oleh pakar dan pemerhati lingkungan. Adalah kapital alami yang tidak mungkin dibuat oleh manusia. Hutan hujan tropis yang memiliki tajuk pepohonan berlapis-lapis, dengan tingkat keragaman spesiesnya yang sangat tinggi, telah mampu membangun iklim mikro dan mengawal pembentukan material tanah yang subur untuk tumbuh kembangnya banyak mikroba, jazad renik, dan semua asosiasi di antara mereka. Sekali siklus atau rantai makanan tertutup itu terputus atau sengaja diputus karena intervensi (eksploitasi) manusia pada skala yang besar, sehingga menyebabkan perubahan asosiasi dan keterhubungan di antara semua unsur rantai makanan yang sangat rumit dan tali temali, flora, fauna, mulai dari top predator sampai ke binatang melata di lantai hutan yang akan mermukkan sisa-sisa makanan hancur menjadi pupuk dan bunga tanah di lantai hutan.
Bagaimana cara mengelola natural capital tersebut agar kelestariannya dapat terus dijaga? Sungguh suatu pertanyaan yang sulit. Cara kelola natural capital, pertama harus menggunakan prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Yang paling mudah adalah tidak mengambil pepohonan yang besar, karena ia berfungsi membangun iklim mikro kehidupan di bawahnya. Silakan ambil hasil hutan bukan kayunya secara sangat terbatas, untuk mengetahui tingkat recovery nya. Sehingga diketahui, seberapa banyak yang bisa digunakan, sampai pada titik sumberdaya itu mampu memulihkan dirinya ke equilibrium awalnya. Pengalaman dan pengetahuan ini berabad diturunkan oleh peramu, pengumpul, peladang, masyarakat adat pedalaman menjadi basis lahirnya kearifan lokal. Tantangannya adalah kecenderungannya yang over exploitation karena permintaan pasar dan pertambahan jumlah penduduk. Hal inilah yang kemudian mengabaikan prinsip kehati-hatian yang telah diterapkan menjadi tradisi hormat pada alam. Sumberdaya akan mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya yang pada titik tertentu tidak akan pernah pulih kembali : gone forever, termasuk keindahannya yang luluh lantak. Tentu saja bila kondisi ini terjadi, kita tidak akan pernah bisa mewariskannya kepada generasi mendatang. Bahkan generasi saat ini akan menerima dampak negatif dari penurunan atau kerusakan sumberdaya tersebut.
Mewariskan keindahan alam berarti juga memegang sikap hidup yang disebut dalam bahasa Jawa, yaitu, “memayu hayuning bawono”. Artinya, mempercantik bumi yang sudah cantik. Sikap mental ini menunjukkan kepada kita filosofi tentang tujuan hidup manusia di dunia ini yang utama adalah menjaga alam. Memanfaatkanya dengan penuh tanggung jawab serta sikap kehati-hatian. Dan bahkan berusaha membuatnya lebih cantik, semakin indah, bukan malahan merusaknya. Sikap ini hanya bisa kita laksanakan apabila kita memiliki pandangan bahwa manusia itu adalah bagian dari alam. Inilah yang disampaikan oleh Ness sebagai deep ecology. Pandangan ecosetrism, bukan antroposentrism. Sikap hidup yang antroposentris adalah sikap yang selalu ingin menaklukkan alam, mengambil apa saja yang ada di alam untuk kepentingan manusia itu.
Greta, wakil dari generasi milenial itu mengingatkan kita agar kita mau bekerjasama dan berbagi sumberdaya. Gaya hidup negara-negara utara yang super mewah harusnya bisa dikendalikan dan dirubah. Kerusakan sumberdaya alam bukan semata-mata karena pertambahan penduduk dan kemiskinan. Tetapi juha disebabkan keserakahan dan gaya hidup boros oleh sebagian kecil penduduk bumi ini. Maka, kita menjadi ingat Gandhi pernah mengatakan bahwa sumberdaya di bumi ini sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi, namun tidak akan pernah cukup untuk melayani keserakahannya.
Agar kita manusia Abad melinial ini bisa mewariskan “keindahan” alam kepada generasi mendatang, maka cara hidup kita harus segera dirubah, untuk lebih hemat, less waste, less plastic, menggunakan green energysebisa mungkin, berwisata alam yang bertanggungjawab, dan selalu menyadari bahwa sumberdaya alam itu terbatas. Akhirnya kita masuk ke dalam wilayah kesadaran (consciousness), untuk selalu bersyukur atas nikmat keindahan alam di Indonesia, yang tidak habis-habisnya ditunjukkan oleh Tuhan kepada kita ummat manusia penghuni bumi ini. “Verba volant scripta manent”.
Diposting oleh: Admin Web, 05 Mar 2020
Media Sosial
Statistik Pengunjung
- Pengunjung Hari Ini: 24
- Pengunjung Kemarin: 41
- Total Pengunjung: 83583