Harga Diri Mama di Kampung Adat Wologai

Di kawasan sekitar Taman Nasional Kelimutu, terdapat 21 kampung adat dan salah satu yang dikunjungi Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas, awal Agustus lalu, adalah Kampung Adat Wologai yang berusia sekitar 800 tahun. Untuk menjangkau kampung adat ini, hanya dibutuhkan sekitar 30 menit perjalanan dengan kendaraan roda dua atau roda empat dari puncak Gunung Kelimutu.

Kampung adat yang terdiri atas 18 rumah adat itu pernah terbakar pada tahun 2012 dan seluruh rumah adatnya habis terbakar. Namun, masyarakat kemudian membangun kembali rumah-rumah adat sesuai dengan bentuk aslinya. Saat ini terdapat 14 rumah adat yang sudah dibangun kembali. Namun, tak semua rumah ditinggali oleh penghuninya.

Buku Manusia dan Budaya di Sekeliling Taman Nasional Kelimutu yang diterbitkan Balai Taman Nasional Kelimutu menyebutkan, seperti halnya struktur kampung etnis Lio pada umumnya, Kampung Wologai memiliki beberapa elemen, antara lain sao ria (rumah adat), saga (tiang yang terbuat dari kayu nangka dan terletak di bagian depan sebelah kanan rumah adat), kangatubu musu, dan musu mase yang mengekspresikan hubungan mereka dengan sesama yang hidup di dunia, leluhur di alam arwah, dan dengan Sang Pencipta.

Saga merupakan tempat untuk meletakkan sesajian pada upacara adat dalam rangka memohon restu para leluhur. Adapun kanga adalah pelataran yang berbentuk lingkaran dan berpagar batu di depan sao riaKanga merupakan tempat untuk pementasan tarian tandak, tarian keakraban dan kesatuan di antara para anggota suku dalam upacara adat. Di tengah kanga terdapat batu yang berdiri tegak yang dinamakan tubu musu, melambangkan unsur jantan penghubung langit dan bumi.

Ketika berkeliling kampung, kami agak kaget dengan ukiran yang berbentuk payudara di dua tiang di depan pintu rumah. Rupanya, rumah-rumah adat yang berada di kampung adat di Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Flores, ini menjadi simbol representasi dari seorang mama. Sederhananya, rumah adalah mama.

Menurut salah satu sesepuh Kampung Adat Wologai, Aloysius Leta (65), yang ditemui sedang memahat kayu menjadi patung berukuran kecil, masyarakat etnis Lio masih mempertahankan adat dan keaslian kampung adat. Kampung adat ini, kata Leta, tertua di Ende.

”Rumah itu mama. Setiap kiri dan kanan pintu di rumah adat selalu terpajang patung kayu ataupun ukiran yang berwujud (maaf) buah dada mama. Banyak ukiran kayu di sisi luar teras rumah yang mengandung arti nilai harga diri seorang mama,” kata Leta. (LUK/APO/FRN)

 

Arikel ini tayang pada Kompas Travel pada tanggal 21 Oktober 2019. Link : https://jelajah.kompas.id/ekspedisi-wallacea/baca/35777/

Diposting oleh: Admin Web, 25 Nov 2019

Media Sosial


Statistik Pengunjung

  • Pengunjung Hari Ini: 78
  • Pengunjung Kemarin: 75
  • Total Pengunjung: 78583