Griya Tiga Warna, Singgasana Para Leluhur

Pulau Flores, di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), merupakan pulau yang kaya akan gunung berapi, baik yang masih aktif maupun telah dinyatakan non aktif. Gunung-gunung berapi ini tersebar mulai dari Kabupaten Manggarai Barat di ujung barat Pulau Flores, sampai di Flores Timur, yang merupakan ujung timur Pulau Flores. Pulau ini memiliki keajaiban dan keunikan alam dan budaya yang sangat menarik untuk dikunjungi. Salah satunya adalah danau kawah tiga warna yang terletak di Gunung Kelimutu, tepatnya di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende.

Di danau ini kita akan menikmati indahnya lukisan Sang Pencipta melalui fenomena alam yang unik, menarik, dan agak rumit dijelaskan, oleh karena warna air dari ketiga danau berbeda satu sama lain dan selalu berubah dari waktu ke waktu . Geoteknologi LIPI Bandung mencatat sebanyak 12 kali perubahan warna dalam kurun waktu 25 tahun. Namun sampai saat ini belum ada penelitian yang dapat memastikan penyebab perubahan warna, baik waktu dan pola perubahan warnanya, meskipun banyak ahli sudah berusaha menjelaskan asal-usul danau tiga warna ini dari erupsi gunung berapi purba dan penyebab adanya macam-macam warna ini dikarenakan Danau Kelimutu memiliki kandungan logam dan lumut di dasarnya. Beberapa penelitian hanya memperkirakan bahwa fenomena yang ada terutama akibat pengaruh aktifitas vulkanik, kandungan biologis di sekitarnya, dan kandungan geologis yang ada di bawah danau.

Riset Pasternak puluhan tahun lalu, menunjukkan bahwa gunung yang berada pada ketinggian 1.631 meter dari permukaan laut, ini termasuk gunung api tipe stratovolcano yang tak banyak mengeluarkan material vulkanis. Gunung ini terakhir kali meletus pada Tahun 1968. Aktivitas vulkanis Gunung Kelimutu tercatat 11 kali selama Tahun 1830-1996. Adapun perubahan warna air tiga danau itu terjadi sejak letusan pada Tahun 1886.

Kelimutu merupakan gabungan kata dari “keli” yang berarti gunung dan kata “mutu” yang berarti mendidih. Awal mulanya danau ini diketemukan oleh Van Such Telen, warga negara Belanda, pada Tahun 1915. Keindahannya dikenal luas setelah Y. Bouman melukiskan dalam tulisannya pada Tahun 1929. Sejak saat itu wisatawan asing mulai datang menikmati danau yang dikenal angker bagi masyarakat setempat. Mereka yang datang bukan hanya pencinta keindahan, tetapi juga peneliti yang ingin tahu kejadian alam yang amat langka itu.

Jauh sebelum diketemukan Van Such Telen, Danau Kelimutu telah lama dikenal oleh masyarakat adat Suku Lio, dan merupakan salah satu bagian terpenting dan tak terpisahkan oleh karena memiliki arti dan makna religius yang melekat turun-temurun dalam adat-istiadat mereka. Suku terbesar di wilayah Kabupaten Ende ini meyakini bahwa Kelimutu adalah tempat sakral yang disebut dalam bahasa setempat keli eo bhisa gia (gunung yang sakral). Di gunung dan tiga buah danau (tiwu) triwarna inilah diyakini sebagai tempat kediaman jiwa-jiwa orang yang telah meninggal, berdasarkan perbuatan semasa hidupnya.

Jika selama hidup berlumuran perbuatan jahat, diyakini setelah meninggal arwah akan menghuni kawah danau seram berwarna merah pekat yang disebut tiwu ata polo. Sebaliknya, kawah danau berwarna putih atau tiwu ata mbupu merupakan tempat bersemayam arwah para tetua yang berhati lurus selama hidupnya. Sementara satu kawah danau lainnya dengan air berwarna biru atau tiwu nuwa muri ko’o fai diyakini sebagai istana arwah muda dan mudi yang ketika hidup selalu menjadi sumber kegembiraan bagi sesama. Mitologi ini adalah nasihat sekaligus peringatan berperilaku bagi anak cucu Suku Lio dari masa ke masa. Petuah itu harus ditaati agar kelak setelah meninggal, rohnya bersemayam di tempat nyaman yang tentunya dengan harapan di tiwu ata mbupu atau tiwu nuwa muri ko’o fai.

Orang Lio percaya bahwa setiap jiwa orang yang meninggal yang hendak menuju Kelimutu akan melewati sebuah pintu yang disebut Pere Konde (pintu konde). Di pintu ini, setiap jiwa akan diperiksa "status kelayakannya" apakah sudah pantas masuk ke Kelimutu (artinya: mati) ataukah tidak. Jika dianggap belum layak, maka jiwanya akan diusir kembali (hidup lagi) yang disebut dengan konde keda. Karena itu, meskipun sudah meninggal beberapa jam atau beberapa hari, namun jika dianggap belum layak, jiwa akan diusir Konde untuk kembali ke dunia dan hidup kembali. Keyakinan ini dibuktikan dengan kesaksian masyarakat setempat bahwa sering terjadi fenomena seperti itu di masyarakat Lio.

Dengan demikian, bagi orang Lio, Danau Kelimutu juga merupakan pusat religi asli para leluhur. Karena itu, mereka harus menjaga harmoni dengan Danau Kelimutu. Perubahan warna Danau Kelimutu bagi masyarakat Lio bukanlah sekedar sebuah fenomena alam, tetapi sebuah isyarat/peringatan akan bencana yang mesti mereka antisipasi. Perubahan warna danau terjadi karena ada ulah-ulang orang Lio yang kurang berkenan di hati Konde, Sang Penguasa Kelimutu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila anda mengunjungi Danau Kelimutu, anda akan merasakan aroma magis dan mistis. Jika merasakannya, maka jangan lupakan latar belakang yang dijelaskan dalam uraian ini.

Danau Kelimutu berada di dalam kawasan Taman Nasional dan menjadi tanggungjawab pengelolaan Balai Taman Nasional Kelimutu, salah satu unit pelaksana teknis (UPT) Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kawasan Taman Nasional dengan luas 5.356,5 Hektar, ini diapit oleh 24 Desa/Kelurahan penyangga, yang terletak di 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Kelimutu, Kecamatan Wolojita, Kecamatan Ndona Timur, Kecamatan Ndona, dan Kecamatan Detusoko.

Dari 24 Desa/Kelurahan yang ada di sekitar Taman Nasional Kelimutu, hingga saat ini tercatat sebanyak 22 masyarakat adat yang merupakan klen Suku Lio. Mereka tergabung dalam sebuah organisasi yang disebut Forum Masyarakat Adat Penyangga Taman Nasional Kelimutu. Sebagai pengelola kawasan Taman Nasional Kelimutu, Balai Taman Nasional Kelimutu, sangat menghargai religiositas Suku Lio terutama dalam ikatan emosional mereka dengan keberadaan Danau Kelimutu dalam praktek adat istiadat mereka. Salah satu bentuk penghargaan atas hal tersebut, pada Tanggal 14 Agustus setiap tahun, Balai Taman Nasional Kelimutu bersama Pemerintah Kabupaten Ende, selalu memfasilitasi terselenggaranya ritual Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata.

Ritual Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata atau yang lebih di kenal dengan ritual Ritual Pati Ka adalah pemberian Sesajen kepada leluhur di Danau Kelimutu yang dilakukan oleh masyarakat adat Suku Lio sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang ada di Danau Kelimutu. Ritual yang dipimpin para tetua adat (Mosalaki Pu’u) ini dilaksanakan di tempat khusus di sekitar Danau Kelimutu. Ritual diawali dengan pemberian makan kepada leluhur berupa sesajen yang terdiri dari daging babi, nasi beras merah, sirih pinang dan moke. Para Mosalaki Pu’u meletakkan sesajen di atas batu yang menjadi mesbah atau altar sesajian, diiringi dengan pengucapan do’a oleh seorang perwakilan Mosalaki dan diakhiri dengan tarian Gawi Sodha oleh para Mosalaki Pu’u sambil mengelilingi lokasi altar sesajian. Setelah prosesi selesai, upacara dilanjutkan di pelataran parkir Taman Nasional Kelimutu, yang diisi dengan tari-tarian tradisional dan nyanyian dari sanggar seni yang ada di lingkungan masyarakat Lio.

Masyarakat adat penyangga Taman Nasional Kelimutu tinggal mengelompok di sekitar rumah-rumah adat mereka sesuai klennya masing-masing pada perkampungan-perkampungan adat yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kelimutu. Pada beberapa perkampungan adat terdapat rumah-rumah adat yang masih asli, misalnya di Kampung Adat Wologai di Desa Wologai Tengah dan Kampung Adat Saga di Desa Saga. Sementara beberapa perkampungan adat lainnya telah terpengaruh modernisasi.

Desa/Kelurahan penyangga Taman Nasional Kelimutu beserta klen masyarakat adat di dalamnya selama ini telah membina hubungan yang harmonis dengan Balai Taman Nasional Kelimutu. Sebagai wujud tanggungjawab pemerintah, Balai Taman Nasional Kelimutu setiap tahunnya selalu memberikan bantuan melalui program pemberdayaan masyarakat desa penyangga. Program ini dilaksanakan dengan jalan mendukung kegiatan perekeonomian masyarakat desa penyangga melalui berbagai aktivitas sesuai dengan potensi yang ada di desa penyangga. Termasuk di dalam program ini antara lain adalah penataan perkampungan adat dengan membangun beberapa bangunan adat yang telah rusak dimakan usia. Salah satu semangat bersama yang ditonjolkan Balai Taman Nasional Kelimutu dan masyarakat penyangga adalah melestarikan peradaban dan budaya yang selaras dengan alam sembari memanfaatkannya untuk mendukung pembangunan pariwisata berkelanjutan yang berdampak pada peningkatan perekenomian masyarakat setempat. Hal ini tentunya selaras dengan Visi Balai Taman Nasional Kelimutu 2017-2022 “Taman Nasional Kelimutu sebagai  kawasan konservasi berbasis ekowisata budaya yang berdayaguna bagi masyarakat”.   

Diposting oleh: Admin Web, 30 Oct 2019

Media Sosial


Statistik Pengunjung

  • Pengunjung Hari Ini: 24
  • Pengunjung Kemarin: 41
  • Total Pengunjung: 83583