Bureaucratic Reform, Progresive Bureaucracy dan Teori “Bola Liar”
Birokrasi pemerintah yang lamban dalam merespon persoalan dan tuntutan publik yang berkembang. Bahkan seringkali birokrasi yang dinilai menghambat dalam pelayanan publik, birokrasi yang tidak mendorong proses “literasi” kepada publik, birokrasi yang cenderung bekerja sendiri, sehingga muncul fenomena seperti “allience creature” yang dicirikan dengan “serba tertutup” dan “serba sendiri”, dan hidup di “zona nyaman”, adalah beberapa “penyakit” birokrasi.
Berbagai penyakit tersebut harus dicarikan obatnya, setelah ketemu “core problem” nya, bukan hanya teridentifikasi “sympton” nya atau gejalanya saja. Saya masih percaya pada “the singer”, ini artinya “the leader” yang mampu melakukan perubahan mendasar dan substansial, daripada the song atau sistemnya.
Bureaucratic Reform
Reformasi birokrasi didorong dan dipacu dengan era digital, era milenial, era 4.0. Yang telah dilakukan oleh Ditjen KSDAE antara lain meningkatkan respon yang lebih cepat, lebih tepat, dan tuntas dalam menghadapi berbagai persoalan di llapangan.
-
Sejak Juni 2017, telah saya tetapkan Call Center UPT dengan tujuan memfasilitasi
partisipasi masyarakat agar aktif melapor atau mencari keterangan. Tahun 2018, di BKSDA DKI, telah diterima 973 laporan masyarakat. Di beberapa UPT, masyarakat melapor-menyerahkan satwa liar, atau bertanya tentang berbagai hal terkait dengan isu lainnya.
-
Karena nomor HP saya saya buka untuk publik, seorang yang peduli lingkungan Yaparudi di Kab.Pesisi Selatan berulang kali melaporkan adanya 3 sawmill yang mengarah ke TN Kerinci Seblat. Insting “quick response” bekerja, sehingga Ditjen Gakkum mengirimkan Tim yang dibantu oleh BB TNKS. Kasus yang bertahun tahun tidak ditangani, langsung digarap dengan cepat dan dihentikan.
-
Kebutuhan respon cepat terkait dengan usulan Hutan Adat Citorek, kasus Besitang, HA Maninjau, demo jalan kaki Bandung-Jakarta oleh pembela CA Kamojang, dilakukan dengan dibentuk WhatApp Group, yang melibatkan staf lintas Eselin II, III, dan beberapa staf kunci di pusat dan UPT.
-
Role Model yang telah diidentifikasi 132 di seluruh UPT yang harus didokumentasi, saya meminta 10 atau 15 Role Model yang akan ditindaklanjuti dan ditemukan proses pembelajarannya. Hal yang harus ditindaklanjuti oleh masing-masing Eselon II yang bertanggungjawab dan ditugasi oleh Dirjen KSDAE.
Progresive Bureaucracy
Pokok bahasan yang menarik tentang birokrasi yang progresif. Ciri-ciri dari birokrasi yang progresif adalah :
- Birokrasi yang memiliki leadership dan staf antisipatif, yang memiliki peran mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Bukan birokrasi yang bisanya hanya mampu menegakkan hukum ketika lingkungan atau hutan sudah terlanjur rusak, pohon berusia ratusan tahun sudah tumbang, gajah, harimau orang utan terlanjur ditembak mati. Birokrasi yang bukan sekedar menjadi “pemadam kebakaran”. Birokrasi yang antiisipatif dicirikan dengan birokrasi yang memiliki staf yang mampu melakukan prediksi dan proyeksi 5-10 tahun ke depan. Staf yang mampu membuat analisis trend tentang ancaman dan potensi solusi ke depan. Staf yang memapu membuat analisis multiple landscape-multiple stakeholder interrelation. Staf yang mampu “menguasai” kondisi lapangan.
-
Staf yang mampu dan mau membangun jejaring kerja multipihak dan menguasai science dan technology maju, teknologi tinggi. Tuduhan adanya ketidakmampuan Balai TN Komodo dalam menjaga komodo, dengan mudah dapat dipatahkan dengan analisis haplotipe komodo yang disita yang dilakukan oleh LIPI. Ternyata komodo yang diselundupkan tersebut berasal dari Flores Utara, buka dari TN Komodo. Scientific based decision making process, tidak terbantahkan. Kita harus mampu mengedukasi publik dengan fakta-fakta berbasiskan science seperti itu. Ini prinsip ke tujuh dari Arahan 10 Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi. Tetapi saya menyadari bahwa yang pertama-tama harus diedukasi dan diyakinkan adalah seluruh stag Ditjen KSDAE, termasuk tokoh PEHnya yang beberapa sudah menjadi doktor.
-
Birokrasi dengan staf yang memiliki budaya menulis, mendokumentasi, dari pengalaman lapangan didukung dengan jejaring scientists dan para intelektual organik di 5.680 desa dan para local champion yang menyimpan tacit knowledge mereka yang kaya, untuk membantu solusi dan pengembangan berbagai ragam potensi sumberdaya alam. Doktor-doktor, PEH, Polhut, dan penyuluh di Ditjen KSDAE harus ditantang dengan cara bekerja di lapangan menyelesaikan berbagai persoalan strategis dan pengembangan potensi. Jangan kalah dengan Tangkahan (sejak tahun 2000), hutan Wisata (Hkm) Kalibiru (berkembang sejak 2013, dimulai sejak 1999), keberhasilan restorasi mangrove di Pantai Desa Margasari dan Sriminosari, Kab.Lampung Timur (sejak 2005 bersama UNILA), dan masih banyak contoh, dimana masyarakat menjadi aktor utama atau subyek kelola lingkungan. Ini prinsip 1 dari 10 Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi. Online DUPAK PEH menjadi sangat penting dan segera dibangun.
-
Birokrasi yang dapat bekerja multitasking, apabila diperlukan. Menyelesaikan pekerjaan dalam tempo beberapa jam. Bekerja dalam satu waktu dengan tugas yang beragam yang menuntut kecepatan penyelesaian tanpa melupakan koridor
regulasi atau memerlukan diskresi dalam skala tertentu. Kemampuan melakukan multitasking ditentukan oleh berbagai pengalaman lapangan yang juga disokong oleh database dan kekuatan trust dalam networking multi kepakaran dan talenta.
-
Birokrasi yang mampu membangun suasana sejuk penuh dengan kepastian dan nuansa perlindungan atau mengayomi. Bukan birokrasi yang menakutkan, prosedural, hitam putih, jauh dari spirit mengajak, mendengarkan, membuat publik berani mengemukakan rasa dan pendapatnya.
Teori “Bola Liar”
Teori “baru” yang mungkin tepat bila diberlakukan dengan situasi yang sangat dinamis dan suasana yang “unpredictable”. Misalnya untuk mengetahui kondisi suatu lapangan, menemukenali aktor lokal, para champion, kita tidak perlu membuat persiapan yang matang atau mencermati first brief dari hasil desk study yang sangat terstruktur. Mungkin ini yang disebut sebagai skema Inspeksi Mendadak (SIDAK), “blusukan tanpa rencana”. Bu Risma melakukan ini setiap pagi setelah subuh, hanya dengan perintah ke Utara, ke Selatan, dan seterusnya. Untuk mengetahui fakta “on the spot at the real time” tentang kebersihan lingkungan, ketemu dengan warga yang seringkali tidak disangka- sangka berjumpa dengan warga yang kelaparan atau sakit. Dengan demikian, problem riil di lapangan langsung dapat diketahui. Solusinya juga bisa lebih tepat dan cepat.
Kelemahan-kelemahan dari template perizinan misalnya, bisa saya ketahhui dengan melakukan check point sangat sederhana. Misalnya, tentang asal usul satwa yang mau ditangkarkan atau satwa yang mau diexpor; Saya hanya bertanya “dimana persisnya” satwa tersebut diambil. Dari penangkaran atau pengambilan dari alam. Bila dari alam, dimana persisnya? Pantai mana, masuk administrais desa mana? Syukur bila ada polygon petanya sebagai prediksi. Berapa nomor HP pemohon, agar saya bisa SIDAK telpon dan bicara apakah benar dia direkturnya? Sesekali SIDAK ke tempat penampungannya, cek kondisi satwa di LK. Mengapa satwa-satwa tertentu dititipkan ke LK tertentu?
Mentalitas seperti itu harus dimiliki oleh setiap Direktur Ditjen KSDAE dan Kepala UPT, dan jajaran di bawahnya. Karena hal nilai-nilai baru ini belum sepenuhnya melembaga sampai ke staf di lapangan, saya melakukan SIDAK ke 6 level ke bawah. Mulai dari (1) direktur, (2) kasubsit/kabid wilayah, (3) seksi, (4) staf kunci, (5) mitra, (6) masyarakat.
Inilah yang saya sebut sebagai “Teori Bola Liar”. Shock terapi sementara tentang berbagai persoalan riil di lapangan atau kemungkinan munculnya persoalan baru. Hasilnya bisa dipakai sebagai basis membangun koneksitas fondasi-fondasi baru yang lebih kokoh, terkoneksi, namun tetap ada ruang fleksibilitas untuk kebutuhan diskresi, inovasi, dan disrupsi.
Teori ini mensyaratkan persistensi, tingkat fleksibilitas, dan kemampuan kritis dalam membaca fakta-fakta lapangan untuk dikategorikan ke dalam respon yang immidiate action (now), atau respon yang cepat, dan respon yang dapat ditunda karena memerlukan kelengkapan lainnya yang harus disiapkan.
Seluruh bisnis proses yang memang memerlukan kecepatan dan ketepatan akan saya dorong menjadi online. Ujicoba online Lembaga Konservasi, Penangkaran, DUPAK PEH, dan Situation Room Ditjen KSDAE menjadi salah satu dari upaya reformasi birokrasi di Ditjen KSDAE 2019. Walaupun ada online sistem atau teknologi drone, tidak berarti meniadakan pentingnya kita hadir di lapangan,baik melakukan SIDAK maupun, menjaga kawasan konservasi, serta mendampinggi masyarakat di desa-desa sekitar kawasan konservasi maupun di kawasan ekosistem esensial, dimana pun di seluruh Indonesia.
Unduh File
Diposting oleh: Admin Web, 12 Feb 2025
Media Sosial
Statistik Pengunjung
- Pengunjung Hari Ini: 21
- Pengunjung Kemarin: 69
- Total Pengunjung: 85969